Bagi penggila bola sepak , istilah hooligan bukanlah sesuatu yang asing lagi. Sebutan hooligan merujuk pada fans fanatik Inggris yang hampir di setiap pertandingan membuat onar, riuh dan merusuh. Di dalam satu situasi, saat Inggeris mengalami kekalahan dalam pertandingan away mahupun di home sendiri, hooligan kerap berurusan dengan pihak polis karena tidak menunjukkan perilaku positif.
Jika melihat ketrampilan para hooligan, dalam keadaan biasa, memang lucu kelihatannya. Namun, begitu mereka beraksi, tak ada lagi yang patut ditertawakan. Mereka suka mabuk-mabukan, muntah, dan kencing sembarangan. Berkelahi dengan siapa saja yang dijumpainya, terutama terhadap penyokong dari pihak lawan. Pihak berkuasa pun tidak segan untuk mereka langgar.
Penyakit hooliganisme tersebut kini menular ke seluruh penjuru dunia, mulai dari daratan Eropah, ujung Afrika, pedalaman Cina hingga pelosok Indonesia. Bahkan, hooliganisme di negeri ini selain mendorong anarkisme di dalam stadium dan juga di luar stadium.
Kisah kekerasan suporter bola, termasuk di Indonesia, melahirkan tanda tanya besar di benak kita: ada apa dengan bola sepak dan penyokongnya? Sejak bilakah hooligan muncul dalam dunia bola sepak? Buku The Land of Hooligans ini secara luas mengisahkan sejarah para perusuh bola sepak di berbagai negara. Penulis juga berusaha mengurai variabel sosial yang melingkari selok-belok hooliganisme.
Ini hanya satu di antara puluhan buku, atau bahkan ratusan buku, yang pernah ditulis mengenai kekerasan penyokong bola sepak. Tapi, buku ini punya keistimewaan sebab mencatat kronologi sejarah secara detail dan mengungkap sisi-sisi terdalam yang tidak pernah ditulis sebelumnya.
Istilah hooliganisme muncul sejak akhir abad ke 19, tepatnya pada 1898 di bumi Inggeris. Tak heran jika Inggeris adalah gudang penghasil hooligan yang paling padat. Sementara mempelajari mengenai penyokong bola sepak dimulai akhir 1960-an. Sejak itu pula, ada campur tangan pihak polis, sosial, dan media yang besar terhadap hooliganisme bola sepak Inggeris.
Puncak aksi hooliganisme terjadi pada 29 Mei 1985 ketika penyokong Liverpool menyerang penyokong Juventus dalam final Champions Cup di Stadion Heysel, Brussel, Belgia. Peristiwa ini bermula dari kedua-dua belah pihak penyokong masing-masing kelab yang saling mengejek dan melecehkan. Kemudian, para penyokong Juventus mulai membakar api kemarahan ke arah penyokong Liverpool. Huru-hara pun mula berlaku. Akibat peristiwa itu, 39 orang tewas mengenaskan.
Kisah-kisah kekerasan hooligan terus mewarnai dunia bola sepak, termasuk dalam pertandingan Derby. Di Skotlandia, yang paling sering terjadi adalah perang antar-suporter Glasgow Celtic dan Glasgow Rangers. Celtic adalah kelab yang dianggap mewakili agama Katolik, sedangkan Rangers mewakili Protestan.
Masing-masing hooligan siap bertaruh nyawa. Penyokong Rangers sering menamakan diri Billy Boys, yakni geng yang menghabisi umat Katolik Glasgow semasa Perang Dunia I dan II. Akibatnya, derby kedua kelab ini selalu panas. Penyokong kedua kelab pun sering terlibat memberontak sebab setiap Celtic dan Rangers bertanding, olok-olokan penyokong saling menyerang identiti keagamaan kedua pihak.
Di Italia, pertandingan derby Inter Milan versus AC Milan disebut-sebut sebagai perang kaum miskin (Milan) melawan kaum kaya (Inter). Konteks yang sama terjadi pula di Turki. "Derby Istanbul" yang memertemukan Fenerbahce versus Galatasaray adalah pertandingan yang dianggap sebagai perang kaum miskin (Fenerbahce) versus aristokrat (Galatasaray).
Secara sosiologis, populariti bola sepak menunjukan permainan kelas bawah. Maklum, media massa sebelum era 1995-an masih senang mencemuh bola sepak milik kelas proletar di Eropah, milik masyarakat Dunia Ketiga di Asia dan Amerika Latin, dan milik penduduk terbelakang di Benua Afrika.
Sebagaimana ditulis Jim White dalam buku Manchester United; The Biography (edisi 2009), bola sepak memang tidak boleh dipisahkan dari persoalan sosial. Apa yang terjadi di antara penyokong itu adalah fenomena sosial yang kompleks. Menurut survey pada 1960 terhadap 520 perusuh Inggeris yang ditahan polis menunjukkan, kelompok terbesar dari mereka adalah buruh kasar (68,1%).
Kaum buruh menyukainya karena bola sepak adalah orahraga yang agak kasar. Kenyataan menegaskan, sebahagian besar pemain bola sepak, sekarang sudah menjadi jutawan, berasal dari lingkungan buruh. Dengan sendirinya bola sepak menemukan akar yang kuat di dalam bidang kerja buruh.
Sosiolog John William dari Leicester University yang memimpin penelitian tentang kekerasan dalam bola sepak menemukan fakta lain. Kini, muncul kesadaran baru di kalangan buruh, iaitu bangga pada kulturnya yang kasar. Alasannya, tidak berubahnya status mereka dalam jangka waktu yang panjang membuat kelompok ini patah semangat untuk mengubah keadaanya. Kompetisi dalam bola sepak dianggap relevan sebagai sikap pelarian.
Frustasi dalam hidup bermasyarakat kerap dijadikan alasan melancarkan agensi dan tidak banyak saranan untuk menyalurkannya. Dalam hal ini, pertandingan bola sepak yang didapati ribuan penonton 'dibajak' sebagai saranan pelampiasan. Justeru itu, sesungguhnya ada mata rantai antara kekerasan dalam bola sepak dan agensi sosial tersebut.
Salah satu pihak yang turut bertanggungjawab mematahkan mata rantai itu adalah pemain. Pemain sejatinya menampilkan permainan yang menarik tanpa kekerasan. Begitu memeragakan kekerasan, dia wajib dihukum seberat-beratnya sehingga dapat meredakan emosi penyokong dan permainan berjalan lebih positif.
Itulah bola sepak yang memiliki kisahnya sendiri. Apa yang ingin ditegaskan Hari Wahyudi dalam buku ini, senyatanya pertandingan bola sepak akan berlangsung secara hebatnya jika pemain masing-masing kesebelasan dapat menampilkan skil permainan yang berkelas, permainan boleh menjamin keamanan penonton, penyokong boleh mati-matian menyokong pasukan kesayangannnya tanpa harus melecehkan pihak lawan, juga segenap pengurus pasukan maupun yang ada di pusat mampu mengelola pertandingan secara dewasa dan profesional.
Sumber : The Land of Hooligans
No comments:
Post a Comment